Apa kabar?
Entah kau pernah benar-benar bertanya kabarku atau tidak, tapi hari ini aku ingin menuliskan sesuatu yang tak sempat kusampaikan dulu. Kita tidak pernah benar-benar menjadi apa pun, ya? Bukan teman, bukan kekasih, hanya dua orang yang saling menunggu tapi tak pernah benar-benar saling mendekat. Kita seperti dua garis lurus—berjalan beriringan, tapi tak pernah saling bersinggungan. Delapan bulan. Kita bicara hampir setiap hari. Tapi tak satu pun kata itu yang benar-benar memberi kejelasan. Tidak ada “sayang”, tidak ada “aku rindu”, hanya percakapan basa-basi yang diam-diam menyusup jadi harapan. Dan bodohnya aku, berharap dari kata yang tidak pernah mengarah. Aku menaruh hati di Tengah-tengah antara candamu yang lucu dan sikapmu yang cuek. Aku menaruh hati pada seseorang yang tidak pernah benar-benar menggenggamnya.
Saat aku mulai lelah menggantungkan rasa, aku memberanikan diri bertanya: “Hubungan ini…mau dibawa ke mana?” Dan Jawabanmu masih sama: “Aku belum tahu.” Lalu aku memilih pergi. Bukan karena aku berhenti mencintaimu, tapi karena aku lelah mencintai sendirian. Aku ingin dicintai dengan pasti, bukan hanya sekadar diajak tertawa di tengah malam, lalu dilupakan di pagi hari. Waktu berjalan. Aku mulai membangun hidup tanpa bayanganmu. Di saat aku mulai membuka hati untuk seseorang yang datang dengan kejelasan, kamu muncul kembali. Seolah waktu tak pernah berjalan. Seolah tidak pernah ada jeda dan luka. Hari itu, aku berdiri dengan toga dan harapan. Dan kamu datang—bukan untuk memberi selamat, tapi untuk berkata bahwa ternyata kamu mencintaiku juga.
Sayangnya, aku sudah lebih dulu memilih orang lain. Sayangnya, kamu datang sedikit terlalu lambat. Aku tidak pernah berdusta. Kadang aku masih merindukanmu. Kadang, saat hujan turun pelan dan malam terasa sepi, aku masih ingin membuka percakapan lama kita. Bukan karena aku ingin Kembali, tapi karena di sana, aku pernah merasa hidup. Sekarang aku sedang menjalin hubungan yang baru. Dia baik. Dia hadir. Tapi ada bagian dariku yang masih menyimpan potonganmu. Potongan dari seseorang yang pernah hampir jadi rumah. Aku tahu ini tak adil. Tapi inilah kenyataan: kamu datang saat aku sudah belajar melepasmu. Dan hari ini, aku menulis bukan untuk membuka pintu lagi, tapi untuk menutupnya dengan tenang. Karena meskipun kamu bukan orang yang bersamaku hari ini, kamu tetap pernah menjadi alasan kenapa dulu aku percaya pada cinta yang tumbuh perlahan.
Mungkin kita memang ditakdirkan untuk tidak Bersatu. Tapi jika suatu saat kamu bertanya-tanya, apakah pernah ada tempat untukmu di hatiku…jawabannya:iya, pernah. Pernah, dengan tulus, dengan diam-diam, dan dengan sepenuh hati. Terima kasih sudah hampir menjadi kisah. Terima kasih sudah pernah membuatku berharap. Kini aku harus berjalan lebih jauh. Bukan karena aku lupa, tapi karena aku memilih untuk benar-benar sembuh. Selamat tinggal, kamu yang datangnya selalu terlambat. Dan semoga nanti, jika kamu menemukan seseorang baru, kamu tidak lagi ragu untuk tinggal. Dengan segala rasa yang dulu tidak sempat kuucapkan, dengan semua sunyi yang kupeluk diam-diam. Inilah aku, akhirnya bicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar