Selasa, 23 September 2025

Sisa Rindu di Atap Bocor

Hujan turun diam-diam di luar rumah. Seperti biasa, atap itu bocor. Aku hanya memindahkan ember, lalu duduk. Dulu, Ayah yang melakukannya. Sekarang, hanya suara tetes air dan dingin yang menyusup pelan ke lantai. Ibu bilang Ayah pergi bekerja. Tapi pekerjaannya tidak pernah selesai. Dan rumah ini terlalu sepi untuk menunggu. Waktu berjalan, seperti biasa. Pagi datang, tanpa sarapan. Sore pulang, tanpa sambutan. Hanya aku, Ibu, dan adik. Dan atap yang tak pernah diperbaiki. Ayahtidak mati. Tapi rasanya seperti itu. Karena ia hidup di tempat lain, tanpa kami.

Hujan sore ini turun dengan cara yang selalu sama: diam-diam, tapi menghantam memoriku seperti palu godam. Aku masih ingat suara itu—“tek… tek… tek…”, tetes-tetes air dari atap bocor di ruang tengah. Dulu, Ayah yang biasa memindahkan ember. Kini, tugas itu jadi rutinitas tanpa aba-aba. Aku hanya memindahkannya, lalu duduk di lantai yang dingin. Menatap genangan air seperti menatap genangan rindu yang tak sempat kering. Ayah pergi tiga minggu sebelum pengumuman SNMPTN. Pergi tanpa benar-benar berpamitan. Aku mendengar suara debat malam itu. Kata-kata kasar, suara gelas pecah, lalu pintu yang dibanting. Setelah itu, sunyi. “Ibu baik-baik saja?” tanyaku pagi harinya. 

Ibu hanya menjawab dengan mata sembab, “Kamu tetap harus kuliah, Tar.” Sejak saat itu, hidup seperti berjalan di atas titian rapuh. Ibu bekerja sebagai asisten rumah tangga di komplek dekat gang rumahku, berangkat pukul enam pagi pulang menjelang magrib. Tangannya kasar, tapi hatinya lembut. Sering kali ia pulang dengan sisa makanan dari majikannya, dan kami menyambutnya seperti hadiah.Adikku, masih SMP waktu itu, akan naik ke SMA. Kami tahu sekolah negeri tak mungkin ia dapat, jadi Ibu mencari alternatif lain. “Yang penting lanjut sekolah,” katanya sambil membuka lipatan kertas brosur sekolah swasta. “Biar Ibu yang pikirin biayanya.” aku hanya mengangguk. Dalam hati, aku ingin berkata bahwa aku akan bantu sebisaku. Tapi aku tahu, kata-kata tak bisa membayar uang pangkal. Kabar terakhir yang kami dengar tentang Ayah: katanya pulang ke kampung halamannya di Palembang. Tapi setelah itu, kabar itu lenyap. Seperti angin yang menyelinap lewat celah jendela—terasa, tapi tak terlihat. Tak ada telepon. Tak ada pesan. Tak ada kabar.

Seburuk apa pun caranya meninggalkan kami, aku masih…merindukannya. Aneh, ya? merindukan orang yang tak pernah benar-benar jadi tempat bersandar. Tapi aku rindu. Bukan karena kenangan manis—karena tak banyak yang bisa kuingat. Tapi karena hidup terasa berat, dan sebagai anak sulung, aku sering merasa harus jadi segalanya. Aku yang menjaga Ibu agar tak tumbang. Aku yang menjaga adik agar tetap sekolah. Aku yang harus tegar ketika tagihan datang, padahal aku sendiri ingin menangis. Di tengah malam-malam panjang, aku sering menatap atap bocor itu dan bertanya, “Ayah, kenapa pergi saat aku mulai butuh pegangan?” Ada hal-hal yang tak bisa diajarkan Ibu. Bukan karena Ibu tak mampu, tapi karena dunia terkadang kejam bagi perempuan yang harus memainkan dua peran sekaligus. 

Aku butuh figur yang bisa kutanya.

“Kenapa rezeki seperti menjauh?”
“Kenapa rezeki seperti menjauh?”
“Kenapa hidup seperti tak pernah memberi jeda?”
“Kenapa aku selalu merasa sendiri?”

Tapi Ayah tidak di sini. Tak pernah benar-benar ada, bahkan ketika dulu masih tinggal di rumah ini. Aku belajar menerima bahwa mungkin Ayah tak pernah bisa menjadi sosok Ayah, tapi aku juga harus mengakui: aku merindukannya. Mungkin bukan rindu pada orangnya, tapi pada ide bahwa aku punya seseorang yang bisa kutumpu saat hidup terasa melelahkan. Sekarang, aku tahu: tidak semua rindu lahir dari kenangan yang indah. Ada rindu yang tumbuh dari luka, dari kehilangan yang tak dijelaskan, dari harapan yang tak pernah tiba.

Dan setiap kali hujan turun, dan atap itu kembali bocor, aku teringat, bahwa meski aku bisa memindahkan ember sendiri sekarang, di lubuk hatiku masih tersisa tempat kosong yang tak bisa kutambal. Tempat kosong itu bernama Ayah. Aku masih ingat beberapa hal tentang Ayah yang tak pernah bisa benar-benar kulupakan—bukan karena indah, tapi karena menyakitkan. Ayah sering mengecewakan. Terlalu sering. Uang yang seharusnya untuk makan, kadang habis di meja judi atau untuk perempuan lain yang bahkan tak kami kenal. Belum cukup sampai di sana, Ayah juga pernah menjual Ponsel-ku. Ponsel pertama yang kubeli dari uang tabungan bertahun-tahun. Semua itu demi satu hal: membantu temannya keluar dari penjara. Teman, yang bukan keluarga. Teman, yang bukan anaknya sendiri.

Waktu itu, aku marah. Aku kecewa. Tapi anehnya, rasa rindu tak pernah benar-benar pergi. Karena, bagaimanapun buruknya sikap Ayah, dia tetap bagian dari kisah hidupku. Aku tetap tumbuh dengan memanggilnya “Ayah”. Kini, setelah lima tahun tanpa kabar, aku sering bertanya dalam hati: Apakah Ayah baik-baik saja? Apakah ia hidupnya cukup? Apakah ia tidur nyenyak? Atau justru... apakah ia masih hidup?.

Ayah tak pernah menempuh pendidikan tinggi. Ia tak punya keahlian khusus. Dan dunia ini tak pernah ramah pada orang-orang yang tidak punya pijakan. Aku takut—takut ia mati di jalan, masuk penjara, atau sekadar hilang tanpa nama. Kadang aku mencoba menepis semua itu. Tapi hujan selalu membawa kenangan yang tak bisa dikubur.

Dan setiap tetes dari atap bocor itu selalu membawa satu tanya: “Ayah, kau di mana?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lembaran Untuk Rohim

Ibuku hanyalah seorang asisten rumah tangga. Setiap bulan ia menerima gaji enam ratus ribu rupiah. Jumlah itu kecil—bahkan mungkin habis han...