Sabtu, 04 Oktober 2025

Lembaran Untuk Rohim

Ibuku hanyalah seorang asisten rumah tangga. Setiap bulan ia menerima gaji enam ratus ribu rupiah. Jumlah itu kecil—bahkan mungkin habis hanya untuk sekali makan malam di restoran mewah bagi sebagian orang. Namun dengan uang itulah, ibu menanggung hidup kami bertiga: dirinya sendiri, aku, dan adikku. Aku selalu kagum melihat cara ibu mengatur setiap rupiah. Tidak ada uang yang dianggap sepele. Belanja di warung, membayar angkot, bahkan uang kembalian sekecil apa pun selalu ia perhatikan. Koin-koin logam seratus dan dua ratus yang sering ditolak warung karena dianggap tak laku, ia kumpulkan dengan sabar. Bunyi denting logam itu memenuhi sebuah toples plastik bekas biskuit di atas lemari dapur.


“Untuk apa sih, Bu, nyimpen receh receh itu? Nggak bisa dipakai belanja juga kan?” tanyaku suatu sore. Ibu menoleh sebentar, senyum tipis terbit di wajahnya. “Kalau sudah banyak, bisa ditukar jadi lembaran. Dan lembaran itu buat Rohim.” Aku diam. Nama itu bukan asing. Rohim adalah pengamen yang hampir tiap minggu datang ke lingkungan rumah kami. Tubuhnya kurus, kulitnya legam, rambutnya jarang disisir. Gitar tuanya hanya punya lima senar, nadanya sering fals, tapi setiap kali ia bernyanyi, suaranya selalu terdengar penuh semangat. Hampir tiga sampai empat kali seminggu ia berkeliling dari rumah ke rumah. Banyak tetangga memilih pura-pura tak mendengar, menutup pintu, atau mengusir halus. Tetapi ketika sampai di depan rumahku, Rohim selalu berhenti lebih lama.

Aku tahu alasannya. Ibu akan keluar membawa selembar uang kertas. Kadang seribu, kadang dua ribu. Nominal yang kecil, tapi selalu disambut Rohim dengan wajah berbinar. Ia menangkupkan kedua tangannya, lalu berkata penuh rasa syukur, “Terima kasih banyak, Bu. Alhamdulillah. Semoga rezeki ibu dan keluarga dilipatgandakan.” Aku sering memperhatikannya dari jendela. Ada sesuatu yang membuatku tertegun. Bagaimana mungkin selembar rupiah yang kecil, yang bagi orang lain mungkin tak ada artinya, bisa membuat seorang lelaki dewasa begitu bahagia? Suatu kali aku memberanikan diri bertanya pada ibu.

“Bu, memangnya selembar seribu atau dua ribu bisa bikin Rohim bahagia? Bukannya itu nggak seberapa?” Ibu menatapku lama. Matanya lembut tapi tegas. “Nak, jangan lihat dari kecilnya. Bisa jadi dengan lembaran itu dia bisa makan hari ini. Yang kecil di tangan kita, bisa jadi besar di tangan orang lain. Ingat, memberi bukan soal jumlah, tapi soal ketulusan.” Kata-kata itu menancap di kepalaku.

Sore lain, saat ibu sedang bekerja, aku yang kebetulan di rumah mendengar suara gitar tua itu. Lagu lama yang sumbang mengalun pelan. Aku membuka pintu, melihat Rohim berdiri dengan senyum canggung. Aku ragu sebentar, lalu membuka dompet. Isinya hanya ada selembar seribu. Aku menyerahkannya dengan agak malu. “Ini, Mas.” Rohim menerimanya seolah aku baru saja memberinya emas. Senyumnya mengembang, matanya berbinar. “Alhamdulillah, terima kasih banyak, Nak. Semoga sekolahmu lancar ya.” Aku tercekat. Selembar seribu yang bagiku hampir tak ada artinya, ternyata mampu mengundang doa tulus dari seseorang yang bahkan tak mengenalku dekat. Aku menutup pintu dengan hati yang bergetar. Malamnya, aku termenung lama. Selama ini aku sering mengeluh karena uang jajanku terasa kurang. Tapi Rohim bisa begitu bahagia hanya dengan lembaran kecil. Ada sesuatu yang salah dengan cara pandangku selama ini.

Hari-hari terus berlalu. Ibu tetap tekun mengumpulkan receh dan menukarnya jadi lembaran. Toples plastik itu selalu penuh bunyi denting yang dulu kuanggap remeh, kini terdengar indah—seperti lagu kecil tentang harapan. Setiap kali Rohim datang, ibu menyerahkan selembar uang dengan wajah tulus. Rohim selalu menunduk, mengucap syukur berulang kali. Kadang ia berkata, “Kalau semua orang seperti ibu, saya nggak takut lapar.” Aku melihat wajah ibu setiap kali itu terjadi. Ada cahaya yang tak bisa kujelaskan. Meski gajinya kecil, meski hidupnya penuh keterbatasan, ia masih bisa merasa cukup—cukup untuk berbagi, cukup untuk bersyukur. Dan aku mulai mengerti sesuatu. Suatu sore, selepas hujan, Rohim kembali datang. Pakaiannya basah, gitarnya basah. Ia tetap menyanyi dengan suara parau, mungkin sekadar berharap ada satu pintu yang terbuka. Ibu keluar dengan selembar dua ribu di tangannya. Wajah Rohim langsung berbinar. Ia menerima lembaran itu dengan kedua tangan, lalu berkata pelan, “Bu, uang ini mungkin cuma sedikit. Tapi bagi saya, lembaran-lembaran kecil seperti inilah yang bikin saya masih bisa bertahan hidup.”

Aku merinding mendengarnya. Kata-kata itu menusuk tepat di hatiku. Ibu hanya tersenyum, menepuk pelan bahu Rohim. “Semoga hidupmu selalu dipermudah, Nak.” Rohim menunduk dalam, lalu melangkah pergi. Aku menatap punggungnya yang menjauh, lalu menoleh pada ibu. Ada sesuatu yang meletup di dadaku—sebuah kesadaran baru yang tak pernah kualami sebelumnya. Malam itu, aku duduk lama di depan wadah receh ibu. Bunyi denting logam yang jatuh perlahan ke dasar toples kini terdengar berbeda. Aku bisa membayangkan bagaimana receh itu perlahan berubah menjadi lembaran, dan bagaimana lembaran itu kemudian mengalir ke tangan Rohim, menjadi sesuap nasi, menjadi segelas teh hangat, menjadi kekuatan untuk tetap bernyanyi lagi esok hari. Aku tersenyum. Kini aku paham, di balik setiap lembaran rupiah yang ibu berikan, tersimpan cerita besar: cerita tentang ketulusan, tentang rasa cukup, dan tentang syukur. Lembaran itu memang tak membuat Rohim kaya, tapi membuatnya bertahan hidup. Dan di saat yang sama, mengajari kami arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Karena kadang, kehidupan seseorang bisa ditopang hanya oleh selembar rupiah yang diberikan dengan hati tulus.

Namun semakin kupikirkan, aku semakin sadar bahwa sebenarnya lembaran itu tidak hanya bermakna bagi Rohim. Lembaran-lembaran kecil itu pun diam-diam mengubah diriku. Ia mengajarkanku untuk melihat dunia dari sudut yang berbeda: bahwa uang bukan hanya alat tukar, melainkan jembatan rasa antara manusia. Bahwa dalam tiap lembar rupiah yang berpindah tangan, ada doa yang menyertai, ada harapan yang dititipkan, dan ada cinta yang tersembunyi. Aku membayangkan berapa banyak orang di luar sana yang hidupnya bergantung pada lembaran-lembaran kecil. Tukang parkir yang tersenyum setelah diberi dua ribu. Penjual koran yang tetap semangat meski pembelinya kian berkurang. Bahkan seorang anak sekolah yang merasa lega ketika uang jajannya cukup untuk membeli sebungkus nasi. Semuanya menunjukkan bahwa lembaran kecil bisa memberi arti besar.

Sejak itu aku tidak lagi meremehkan uang seribu atau dua ribu. Aku tidak lagi menyepelekan receh. Aku tahu, di tangan orang lain, yang kecil bisa menjelma penyelamat. Ibu pernah berkata, “Nak, kekayaan itu bukan ketika kita punya banyak, tapi ketika kita bisa merasa cukup dan mau berbagi.” Kalimat itu kini terasa begitu nyata. Aku menyaksikan sendiri bagaimana selembar rupiah yang sederhana bisa mengundang senyum, bisa mengalirkan syukur, bahkan bisa menghadirkan doa yang mungkin lebih berharga daripada harta sebanyak apa pun. Malam itu aku menutup catatanku dengan satu kalimat yang terus berputar di kepala:

“Bukan seberapa besar nilai rupiah yang kita genggam, tapi seberapa tulus hati kita saat melepasnya. Sebab kadang, selembar rupiah kecil lebih kaya dari jutaan, ketika ia lahir dari cinta dan menjelma doa yang menjaga hidup orang lain.”

Sedikit Terlambat untuk Menjadi Kita

Apa kabar?

Entah kau pernah benar-benar bertanya kabarku atau tidak, tapi hari ini aku ingin menuliskan sesuatu yang tak sempat kusampaikan dulu. Kita tidak pernah benar-benar menjadi apa pun, ya? Bukan teman, bukan kekasih, hanya dua orang yang saling menunggu tapi tak pernah benar-benar saling mendekat. Kita seperti dua garis lurus—berjalan beriringan, tapi tak pernah saling bersinggungan. Delapan bulan. Kita bicara hampir setiap hari. Tapi tak satu pun kata itu yang benar-benar memberi kejelasan. Tidak ada “sayang”, tidak ada “aku rindu”, hanya percakapan basa-basi yang diam-diam menyusup jadi harapan. Dan bodohnya aku, berharap dari kata yang tidak pernah mengarah. Aku menaruh hati di Tengah-tengah antara candamu yang lucu dan sikapmu yang cuek. Aku menaruh hati pada seseorang yang tidak pernah benar-benar menggenggamnya.

Saat aku mulai lelah menggantungkan rasa, aku memberanikan diri bertanya: “Hubungan ini…mau dibawa ke mana?” Dan Jawabanmu masih sama: “Aku belum tahu.” Lalu aku memilih pergi. Bukan karena aku berhenti mencintaimu, tapi karena aku lelah mencintai sendirian. Aku ingin dicintai dengan pasti, bukan hanya sekadar diajak tertawa di tengah malam, lalu dilupakan di pagi hari. Waktu berjalan. Aku mulai membangun hidup tanpa bayanganmu. Di saat aku mulai membuka hati untuk seseorang yang datang dengan kejelasan, kamu muncul kembali. Seolah waktu tak pernah berjalan. Seolah tidak pernah ada jeda dan luka. Hari itu, aku berdiri dengan toga dan harapan. Dan kamu datang—bukan untuk memberi selamat, tapi untuk berkata bahwa ternyata kamu mencintaiku juga.

Sayangnya, aku sudah lebih dulu memilih orang lain. Sayangnya, kamu datang sedikit terlalu lambat. Aku tidak pernah berdusta. Kadang aku masih merindukanmu. Kadang, saat hujan turun pelan dan malam terasa sepi, aku masih ingin membuka percakapan lama kita. Bukan karena aku ingin Kembali, tapi karena di sana, aku pernah merasa hidup. Sekarang aku sedang menjalin hubungan yang baru. Dia baik. Dia hadir. Tapi ada bagian dariku yang masih menyimpan potonganmu. Potongan dari seseorang yang pernah hampir jadi rumah. Aku tahu ini tak adil. Tapi inilah kenyataan: kamu datang saat aku sudah belajar melepasmu. Dan hari ini, aku menulis bukan untuk membuka pintu lagi, tapi untuk menutupnya dengan tenang. Karena meskipun kamu bukan orang yang bersamaku hari ini, kamu tetap pernah menjadi alasan kenapa dulu aku percaya pada cinta yang tumbuh perlahan.

Mungkin kita memang ditakdirkan untuk tidak Bersatu. Tapi jika suatu saat kamu bertanya-tanya, apakah pernah ada tempat untukmu di hatiku…jawabannya:iya, pernah. Pernah, dengan tulus, dengan diam-diam, dan dengan sepenuh hati. Terima kasih sudah hampir menjadi kisah. Terima kasih sudah pernah membuatku berharap. Kini aku harus berjalan lebih jauh. Bukan karena aku lupa, tapi karena aku memilih untuk benar-benar sembuh. Selamat tinggal, kamu yang datangnya selalu terlambat. Dan semoga nanti, jika kamu menemukan seseorang baru, kamu tidak lagi ragu untuk tinggal. Dengan segala rasa yang dulu tidak sempat kuucapkan, dengan semua sunyi yang kupeluk diam-diam. Inilah aku, akhirnya bicara.


Selasa, 23 September 2025

Peran Penjaga yang Tidak Terlihat

Aku pernah berpikir bahwa yang menjaga seseorang adalah pagar yang tinggi, kamera pengawas, atau tangan manusia yang menggenggam erat. Tapi ternyata bukan itu, kadang yang paling setia menjaga justru hal yang tidak terlihat mata: doa. Doa itu sunyi. Ia tidak datang dengan suara keras, tidak memaksa untuk didengar. Tapi ia berjalan diam-diam, menyusuri malam-malam panjang, mencari celah langit lalu mengetuk hati Tuhan dengan nama kita.

Doa adalah saat ibuku menyebut namaku dalam sujudnya. Doa adalah suara lirih yang bilang “Ya Allah, cukupkan aku,” di saat aku tidak tahu harus makan pakai apa besok pagi. Doa adalah sesuatu yang tidak pernah kusadari datang, tapi selalu kutemukan hasilnya. Pernah suatu hari, aku hampir menyerah. Rasanya semua pintu tertutup. Tapi entah bagaimana, ada satu jalan kecil yang terbuka pelan. Dan aku tahu...itu bukan karena aku hebat. Tapi karena ada doa yang sampai lebih dulu ke sana.

Kadang aku merasa dunia tidak adil, waktu tidak cukup, dan beban terlalu berat. Tapi setiap kali aku kembali pulih, kembali kuat—aku yakin, itu bukan semata-mata dari diriku. Itu karena ada doa yang berdiri di belakangku. Mendorongku maju. Memapahku saat jatuh. Menemani aku bertumbuh. Doa tidak pernah minta balas. Ia tidak menagih. Tidak marah kalau dilupakan. Tapi tanpanya, kita mungkin tidak akan pernah sampai ke titik ini.

Jadi hari ini, jika ada yang pantas kusebut sebagai penjaga, maka itu bukan hanya ibu, bukan hanya sahabat atau waktu. Tapi doa. Ia penjaga yang tidak pernah tertidur, tidak pernah menuntut, tapi selalu ada...—bahkan saat aku tak pernah menyebutnya lagi. Dan di atas semua itu, ada Yang Maha Mendengar—yang diam-diam mengabulkan doa- doa itu, bahkan saat aku lupa memintanya sendiri.

Sisa Rindu di Atap Bocor

Hujan turun diam-diam di luar rumah. Seperti biasa, atap itu bocor. Aku hanya memindahkan ember, lalu duduk. Dulu, Ayah yang melakukannya. Sekarang, hanya suara tetes air dan dingin yang menyusup pelan ke lantai. Ibu bilang Ayah pergi bekerja. Tapi pekerjaannya tidak pernah selesai. Dan rumah ini terlalu sepi untuk menunggu. Waktu berjalan, seperti biasa. Pagi datang, tanpa sarapan. Sore pulang, tanpa sambutan. Hanya aku, Ibu, dan adik. Dan atap yang tak pernah diperbaiki. Ayahtidak mati. Tapi rasanya seperti itu. Karena ia hidup di tempat lain, tanpa kami.

Hujan sore ini turun dengan cara yang selalu sama: diam-diam, tapi menghantam memoriku seperti palu godam. Aku masih ingat suara itu—“tek… tek… tek…”, tetes-tetes air dari atap bocor di ruang tengah. Dulu, Ayah yang biasa memindahkan ember. Kini, tugas itu jadi rutinitas tanpa aba-aba. Aku hanya memindahkannya, lalu duduk di lantai yang dingin. Menatap genangan air seperti menatap genangan rindu yang tak sempat kering. Ayah pergi tiga minggu sebelum pengumuman SNMPTN. Pergi tanpa benar-benar berpamitan. Aku mendengar suara debat malam itu. Kata-kata kasar, suara gelas pecah, lalu pintu yang dibanting. Setelah itu, sunyi. “Ibu baik-baik saja?” tanyaku pagi harinya. 

Ibu hanya menjawab dengan mata sembab, “Kamu tetap harus kuliah, Tar.” Sejak saat itu, hidup seperti berjalan di atas titian rapuh. Ibu bekerja sebagai asisten rumah tangga di komplek dekat gang rumahku, berangkat pukul enam pagi pulang menjelang magrib. Tangannya kasar, tapi hatinya lembut. Sering kali ia pulang dengan sisa makanan dari majikannya, dan kami menyambutnya seperti hadiah.Adikku, masih SMP waktu itu, akan naik ke SMA. Kami tahu sekolah negeri tak mungkin ia dapat, jadi Ibu mencari alternatif lain. “Yang penting lanjut sekolah,” katanya sambil membuka lipatan kertas brosur sekolah swasta. “Biar Ibu yang pikirin biayanya.” aku hanya mengangguk. Dalam hati, aku ingin berkata bahwa aku akan bantu sebisaku. Tapi aku tahu, kata-kata tak bisa membayar uang pangkal. Kabar terakhir yang kami dengar tentang Ayah: katanya pulang ke kampung halamannya di Palembang. Tapi setelah itu, kabar itu lenyap. Seperti angin yang menyelinap lewat celah jendela—terasa, tapi tak terlihat. Tak ada telepon. Tak ada pesan. Tak ada kabar.

Seburuk apa pun caranya meninggalkan kami, aku masih…merindukannya. Aneh, ya? merindukan orang yang tak pernah benar-benar jadi tempat bersandar. Tapi aku rindu. Bukan karena kenangan manis—karena tak banyak yang bisa kuingat. Tapi karena hidup terasa berat, dan sebagai anak sulung, aku sering merasa harus jadi segalanya. Aku yang menjaga Ibu agar tak tumbang. Aku yang menjaga adik agar tetap sekolah. Aku yang harus tegar ketika tagihan datang, padahal aku sendiri ingin menangis. Di tengah malam-malam panjang, aku sering menatap atap bocor itu dan bertanya, “Ayah, kenapa pergi saat aku mulai butuh pegangan?” Ada hal-hal yang tak bisa diajarkan Ibu. Bukan karena Ibu tak mampu, tapi karena dunia terkadang kejam bagi perempuan yang harus memainkan dua peran sekaligus. 

Aku butuh figur yang bisa kutanya.

“Kenapa rezeki seperti menjauh?”
“Kenapa rezeki seperti menjauh?”
“Kenapa hidup seperti tak pernah memberi jeda?”
“Kenapa aku selalu merasa sendiri?”

Tapi Ayah tidak di sini. Tak pernah benar-benar ada, bahkan ketika dulu masih tinggal di rumah ini. Aku belajar menerima bahwa mungkin Ayah tak pernah bisa menjadi sosok Ayah, tapi aku juga harus mengakui: aku merindukannya. Mungkin bukan rindu pada orangnya, tapi pada ide bahwa aku punya seseorang yang bisa kutumpu saat hidup terasa melelahkan. Sekarang, aku tahu: tidak semua rindu lahir dari kenangan yang indah. Ada rindu yang tumbuh dari luka, dari kehilangan yang tak dijelaskan, dari harapan yang tak pernah tiba.

Dan setiap kali hujan turun, dan atap itu kembali bocor, aku teringat, bahwa meski aku bisa memindahkan ember sendiri sekarang, di lubuk hatiku masih tersisa tempat kosong yang tak bisa kutambal. Tempat kosong itu bernama Ayah. Aku masih ingat beberapa hal tentang Ayah yang tak pernah bisa benar-benar kulupakan—bukan karena indah, tapi karena menyakitkan. Ayah sering mengecewakan. Terlalu sering. Uang yang seharusnya untuk makan, kadang habis di meja judi atau untuk perempuan lain yang bahkan tak kami kenal. Belum cukup sampai di sana, Ayah juga pernah menjual Ponsel-ku. Ponsel pertama yang kubeli dari uang tabungan bertahun-tahun. Semua itu demi satu hal: membantu temannya keluar dari penjara. Teman, yang bukan keluarga. Teman, yang bukan anaknya sendiri.

Waktu itu, aku marah. Aku kecewa. Tapi anehnya, rasa rindu tak pernah benar-benar pergi. Karena, bagaimanapun buruknya sikap Ayah, dia tetap bagian dari kisah hidupku. Aku tetap tumbuh dengan memanggilnya “Ayah”. Kini, setelah lima tahun tanpa kabar, aku sering bertanya dalam hati: Apakah Ayah baik-baik saja? Apakah ia hidupnya cukup? Apakah ia tidur nyenyak? Atau justru... apakah ia masih hidup?.

Ayah tak pernah menempuh pendidikan tinggi. Ia tak punya keahlian khusus. Dan dunia ini tak pernah ramah pada orang-orang yang tidak punya pijakan. Aku takut—takut ia mati di jalan, masuk penjara, atau sekadar hilang tanpa nama. Kadang aku mencoba menepis semua itu. Tapi hujan selalu membawa kenangan yang tak bisa dikubur.

Dan setiap tetes dari atap bocor itu selalu membawa satu tanya: “Ayah, kau di mana?”

Lembaran Untuk Rohim

Ibuku hanyalah seorang asisten rumah tangga. Setiap bulan ia menerima gaji enam ratus ribu rupiah. Jumlah itu kecil—bahkan mungkin habis han...